hatiku beku, tapi masih bisa memberikan kesejukan...bagaikan sebongkah es di padang pasir
Sabtu, 27 November 2010
Lebih dekat dengan TERONG BELANDA, segar dan menyehatkan
Jalan-jalan ke Medan belum lengkap rasanya bila belum menikmati jus MARTABE. Martabe yang ini bukan ‘marsipature hutana be’, melainkan ‘markisa terong belanda’… Buah-buahan ini banyak ditemukan di Pasar Berastagi, dan jusnya bisa diminum hampir di seluruh resto-resto di Sumut. Oleh-olehnya dalam bentuk sirup banyak dijual di Kota Medan.
Terong Belanda atau Tomat Pohon atau Tamarillo adalah tanaman berbuah keluarga Solanaceae. Terong Belanda lebih banyak dikonsumsi sebagai buah. Buah yang terasa asam ini semakin terasa nikmat setelah diolah menjadi minuman segar seperti jus dan sirup.
Terong belanda hidup di daearah pegunungan pada ketinggian 500 hingga 1000 meter di atas permukaan laut dengan suhu 20 hingga 27 derajat Celsius. Di dataran rendah, pohon terong belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk dapat mendorong pembungaan. Oleh karena itu, tanaman ini berbuah matang pada musim dingin ‘di daerah subtropik, dan jika ditanam di daerah tropik buah matang sesudah terjadi udara dingin.
Buah terung belanda berbentuk oval atau bulat telur, berukuran 3-10 cm x 3-5 cm, meruncing ke dua ujungnya, bergelantungan, bertangkai panjang, daun kelopaknya tidak rontok, licin, daging buahnya mengandung banyak sari buah, agak asam, berwarna kehitam-hitaman sampai kekuning-kuningan, kulit buah tipis. Sewaktu muda warnanya kuning dan seiring dengan matangnya buah, kulit buah berubah menjadi keunguan. Bijinya bulat pipih, tipis, dan keras.
Rasa buah akan menjadi lebih baik pada hari-hari cerah yang panas dan malam-malam yang dingin pada musim kemarau di daerah tropik daripada selama musim dingin di dataran tinggi. Petani bisa memanen terung belanda sepanjang tahun. Dalam setahun, satu pohon terung belanda bisa menghasilkan kira-kira 70 kg buah. Salah satu sentara penanaman buah terong belanda ada didaerah Wonosobo dan Bogor.
Kandungan Gizi
Dalam setiap 100 gram bagian terung belanda yang dapat dimakan mengandung air 85 gram, protein 1,5 gram, lemak 0,006 – 1,28 gram, karbohidrat 10 gram, serat 1,4 – 4,2 gram, abu 0,7 gram, vitamin A 150 – 500 SI dan vitamin C25 mg.
Manfaat
Terong Belanda mengandung provitamin A yang baik untuk kesehatan mata dan vitamin C untuk mengobati sariawan, panas dalam dan meningkatkan daya tahan tubuh. Mineral penting seperti potasium, fosfor dan magnesium mampu menjaga dan memelihara kesehatan. Serat yang tinggi didalam terung belanda bermanfaat untuk mencegah kanker dan sembelit / konstipasi. Terong Belanda mengandung antosianin yang termasuk kedalam golongan flavonoid yang merupakan salah satu jenis antioksidan. Serat yang tinggi di dalam terong belanda bermanfaat untuk mencegah kanker dan sembelit/konstipasi.
Buah terong belanda dapat dimanfaatkan dalam berbagai bentuk. Buah mentah dapat digunakan untuk masakan acar, kari ataupun sambal. Buahnya yang matang cocok diolah menjadi sirup, selai, minuman jus, rujak, sebagai hiasan es krim atau menjadi bahan campuran salad. Berikut dijelaskan cara pembuatan sirup terong belanda.
Resep Bahan Sirup Terong Belanda :
* Terong belanda 4 kg,
* Gula pasir 4 kg
* Air 4 liter
* Citrunzuur 4 sendok teh
* Natrium benzoat
Cara Membuat Sirup Terong Belanda :
* Keruk daging buah terong belanda.
* Blender daging buah dengan ditambah 500 ml sehingga didapatkan bubur terong belanda. Sisihkan.
* Didihkan sisa air, masukkan gula pasir. rebus di atas api sedang sambil diaduk hingga mendidih sampai gula larut.
* Masak bubur terong belanda sambil diaduk hingga mendidih lalu angkat.
* Tambahkan citrunzuur dan natrium benzoat, aduk rata.
SELAMAT MENIKMATI, segar dan menyehatkan
Selasa, 14 September 2010
Tips Bikers Wanita
Konon naik motor bisa menghilangkan stress, mengasah otak, dan membuat awet muda. Bener ga ya...yang pasti semakin hari semakin banyak saja bikers wanita di ibukota. Pengalaman saya sebagai bikers yang pernah tinggal di beberapa kota, menjadi bikers di ibukota lah yang paling berat, dengan pertimbangan jarak tempuh yang cukup jauh, medan yang cukup berat, dan tingkat polusi udara yang sangat tinggi, juga harus bersaing dengan sesama bikers dan bis kota. Maka berdasarkan pengalaman saya sebagai pengendara motor sejati, ada beberapa tips bagi pengendara motor wanita, terutama bagi pemula berikut ini.
1. Pilihlah motor yang sesuai dengan postur tubuh dan tinggi badan kita sehingga nyaman/pas menggunakannya, terutama yang akan menggunakan motor sebagai kendaraan rutin pribadi, karena ketidaksesuaian akan menyebabkan pegal-pegal dan cepat cape'. Misalnya: bagi bikers motor matic yang tidak terlalu tinggi, lebih nyaman menggunakan mio daripada vario.
2. Persiapkan mental ... kalo malu mengendarai motor, mendingan ga usah deh daripada malu2 in. Maksudnya kalo di jalanan jangan takut2/malu2, tancap gas aja ... kendarai motor selincah mungkin.
3. Persiapkan helm standar, masker, sarung tangan, kaus kaki, jaket yang sesuai dengan cuaca, jas hujan, dan sepatu. Untuk jenis sepatu, yang paling nyaman adalah memakai sepatu sport.
4. Riasan wajah ala kadarnya saja karena akan mudah terhapus, tapi jangan lupa menggunakan tabir surya atau SPF.
5. Siapkan kacamata gelap apabila berkendara di siang hari. Mata harus dijaga dari debu dan cahaya matahari langsung, dan tidak ada salahnya bila mata dibersihkan seminggu sekali dengan obat tetes mata.
6. Jangan sekali-kali mengangkat telpon saat mengendarai motor, apalagi balas SMS ... minggir aja dulu deh kalo penting.
7. Mengingat begitu banyaknya pengendara motor di jalanan, jangan terpancing emosi di jalanan, karena akibatnya fatal. Bersabarlah, kalo mau nyalip harus dipikirkan dahulu untung ruginya, tapi jangan kelamaan mikirnya. So ... harus cepet ngambil keputusan biar sampe ke tujuan dengan cepat dan selamat.
8. Jangan sering2 lewat pinggir/tepi jalan sebelah kiri atau nyalip dari sebelah kiri, karena selain berbahaya, banyak ranjau. Tau-tau ban bocor, cape deh' ...
9. Jangan lupa bawa persediaan uang, minimal untuk tambal ban.
10. Jangan melanggar lalu lintas. Polisi sudah banyak memberi dispensasi kpd para bikers terutama pada jam pergi dan pulang kantor, misalnya pada pagi hari dibolehkan masuk jalur busway. Manfaatkan waktu yg diberikan tsb, tp hati2 pada jam2 tertentu, sering ada razia (biasanya jam 10-15 di jalur yg searah).
11. Hindari memakai tas jinjing, memakai tas selempang atau tas punggung lebih baik dan gak ribet. Kalo bisa tas dimasukin bagasi aja biar lebih aman.
12. Sampe rumah ... jangan lupa bersihin muka dan mandi karena debu di jalanan pasti nempel di tubuh kita.
13. Kalo hujan berteduh dulu aja, atau berhenti sebentar untuk pakai jas hujan, tapi kalo buru2... sekali2 enak juga hujan2an, percikan hujan ke muka rasanya spt facial alami. Jangan lupa kalo habis hujan2an sesampai di tujuan segeralah mandi supaya ga pusing/demam.
14. Pasrahkan diri kita kepada Allah SWT, selalu berdoa dan berzikir, karena maut ada di mana2.
Sabtu, 06 Maret 2010
Ujian masuk RSBI
Setelah lulus seleksi administrasi, selanjutnya mengikuti ujian tertulis selama 2 hari untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, MIPA, dan Pengetahuan Umum dan dilanjutkan dengan ujian lisan Bahasa Inggris. Untuk lulus pada Tahap II ini, peserta harus memiliki nilai rata-rata 7,00. Kalau tidak mencapai angka tersebut maka dinyatakan tidak lulus.
Pada Tahap III akan dilakukan ujian bakat dan minat, yang tergabung dalam Psikotest serta ujian komputer. Diikuti pula dengan wawancara bagi orang tua.
Selamat mengikuti Bang ...
Sabtu, 06 Februari 2010
Sejarah Peradilan Agama di Indonesia
Suatu perkiraan yang dapat dijadikan pegangan sementara bahwa sejarah Peradilan Agama di Indonesia berkaitan erat dengan sejarah masuknya agama Islam di wilayah Nusantara. Perkembangan sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang akan dipaparkan pada resume ini adalah sejak perkiraan masuknya agama Islam di nusantara hingga masa setelah diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang merupakan pedoman pengaturan mengenai Peradilan Agama yang berlaku saat ini. Pembahasan sejarah perkembangan Peradilan Agama pada bab ini dibagi dalam 6 (enam) bagian sesuai dengan masa (periode) perkembangan Peradilan Agama tersebut, yaitu :
a. Masa (periode) Prapemerintahan Hindia Belanda
b. Masa (periode) Peralihan / Transisi
c. Masa (periode) Pemerintahan Hindia Belanda Ke I
d. Masa (periode) Pemerintahan Hindia Belanda Ke II
e. Masa (periode) Penjajahan Jepang
f. Masa (periode) Awal Indonesia Merdeka
g. Masa (periode) setelah Berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 tahun 2006
A. MASA (PERIODE) PRAPEMERINTAHAN HINDA BELANDA
Masa Pemerintahan Hindia Belanda dimulai sejak masuknya agama Islam di Nusantara. Tentang perkiraan kapan masuknya agama Islam di Nusantara ini terdapat berbagai pendapat. Namun demikian, tegasnya setelah memeluk agama Islam, masyarakat Muslim di Nusantara telah mulai mengatur dirinya sendiri dengan mempergunakan hukum Islam. Dalam pelaksanaan hukum Islam ini, telah dapat dirasakan adanya manfaat dilaksanakannya hukum acara Peradilan Agama, walaupun belum terdapat aturan tertulis mengenai yuridis formal proses beracaranya. Praktik pelaksanaan hukum acara Peradilan Agama pada waktu itu masih sangat sederhana, yang pada perkembangannya dikenal pembentukannya dalam 3 (tiga) periode yaitu :
1. Tahkim kepada Muhakam
Ketika pemeluk agama Islam masih sedikit, wujud Peradilan Agama belum seperti sekarang ini, pada masa itu bila terjadi perselisihan atau sengketa, di antara anggota masyarakat, di selesaikan dengan cara bertahkim kepada guru atau mubaligh yang dianggap mampu dan berilmu agama. Orang yang bertindak sebagai hakim, disebut muhakam.
2. Masa (periode Ahlul Hilli Wal’Aqdi)
Ketika penganut agama Islam telah bertambah banyak dan terorganisir dalam kelompok masyarakat yang teratur, jabatan hakim atau qadhi dilakukan secara pemilihan dan baiat oleh ahlul hilli wal’aqdi, yaitu pengangkatan atas seorang yang dipercaya ahli oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat.
3. Masa (Perode) Tauliyah
Ketika masyarakat Islam telah berkembang menjadi kerajaan Islam, pengankgatan jabatan hakim (qadhi) dilakukan dengan pemberian “tauliyah” yakni pemberian atau pendelegasian kekuasaan dari penguasa. Pada masa itu terdapat bermacam-macam sebutan atau nama, antara lain sebagai berikut :
a. Di aceh dengan nama Mahkamah Syari’ah Jeumpa
b. Di Sumatera Utara dengan nama Mahkamah Majelis Syara
c. Di Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya yang merupakan bekas wilayah kerjaan Islam, lebih disukai istilah “Hakim Syara” atau “Qadhi Syara”
d. Di Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, karena peran Syeh Arsyad Al Banjari, kerapatan qadhi dan karapatan qadhi besar
e. Di Sumbawa hakim syara, di Sumatera Barat nama Mahkamah tuan. Kadi, atau angku kali.
f. Di kerajaan Mataram Pengadilan Surambi, disebut demikian karena tempat mengadilil dan memutus perkara adalah di serambi masjid.
Pengadilan surambi itu pada asalnya merupakan bagian dari pengadilan perdata dalam lingkungan Kerajaan Mataram yang selalu mengadkan siding-sidang majelis hakim di serambi masjid. Pengadilan Surambi mempunyai wewenang untuk :
a. Melaksanakan tugas sebagai sebuah lembaga pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang berkaitan dengan masalah perkawinan, perceraian dan segala akibatnya serta masalah kewarisan.
b. Pengadilan Surambi difungsikan sebagai lembaga pemberi nasihat atau sebuah majelis pertimbangan untuk memberi nasihat dan pertimbangan kepada sultan menurut hukum Islam. Jika keputusan Sutlan yang belum mendapat pertimbangan dari Pengadilan Surambi, maka keputusan belum dapat dilaksanakan.
Berlainan dengan pandangan falsafah hukum dan kenegaraan Perancis (Trias Politica), kewenangan, kekuatan, dan kekuasaan peradilan adalah kewajiban bermasyarakat (fardhu kifayah) yang menurut kitab Fathad mu’in terjadi dengan tauliyah Imam (pelimpahan kewaiban kepala Negara), tauliyah ahlul hilli wal’aqdi (perlimpahan para ahli yang berwenang) atau tahkim (penyerahan pihak-pihak yang berperkara kepada seseorang atau satu wali yang dianggap ahli dan memenuhi syarat untuk menyelesaikan masalah mereka). Dalam melaksanakan tugasnya para hakim agama mempergunakan Al-Quran, hadits, dan kitab-kitab fiqih Islam.
Notosusanto dalam bukunya Organisasi dan Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia memberikan kriteria terhadap orang-orang Islam yang harus diadili oleh Pengadilan Agama pada waktu itu. Kriteria tersebut yaitu :
a. Apabila orang itu secara lahiriah berkumpul dan hidup bersama-sama orang-orang Islam, tinggal bersama di daerah orang Islam, dan sepergaulan dengan orang Islam, maka orang itu adalah orang Islam.
b. Orang Islam, yaitu orang yang mencapkan syahadatain (dua kalimat syahadat; Asyhadu an-la-ilaaha illallah, wa Ashadu anna muhammadar Rasulullah)
c. Dianggap orang Islam apabila ia mengakui rukun iman :
1) Percaya (iman) Kepada Allah yang satu (Esa)
2) Percaya (iman) Kepada malaikat
3) Percaya (iman) Kepada Kitab-kitabnya, Zabur, Taurat, Injil dan Qur’an
4) Percaya (iman) Kepada Rasul-rasulnya
5) Percaya (iman) Kepada Qadha dan Qadhar
d. Dia harus wajib melaksanakan syariat Islam, yang berupa shalat 5 (lima) kali sehari semalam, puasa 1 bulan penuh pada bulan Ramadhan, berzakat kalu ada harta cukup satu nisab dan berada padanya satu haul serta menunaikan ibadah haji bila mampu.
B. MASA (PERIODE) TRANSISI
Pada tanggal 4 Maret 1620 dikeluarikan instruksi agar di daerah yang dikuasai kompeni (VOC) harus diberlakukan hukum sipil Belanda, antara lain dalam soal kewarisan. Instruksi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena mengalami kesulitan akibat perlawanan dari pihak Islam. Sedang masalah hukuman badan dan hukuman mati tidak ditanggapi oleh masyarakat Islam. Berlakunya hukum perdata Islam diakui oleh VOC dengan Resolutie der Indische Regeling tanggal 25 Mei 1760, yaitu, berupa suatu kumpulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam, atau compendium freijer, untuk dipergunakan pada pengadulan VOC.
Juga terdapat kumpulan-kumpulan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum Islam yang dibuat dan dipakai di daerah-daerah lain, yaitu Cirebon, Semarang, dan Makasar.
C. MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan politik yang dituangkan dalam “Reglement op het beleid der regeerings van Nederlandsch Indie” yang disingkat menjadi Regeerings Reglement (RR) dan dimuat di dalam Stbl. Belanda 1854 No. 129 dan sekaligus dimuat di dalam Stbl. Hindia Belanda Tahun 1855 No. 2. Dalam pasal 75, 78 dan 109 Regeerings Reglement (RR) Stbl. 1855 : 2 ditegaskan berlakunya undang-undang (hukum) Islam bagi orang Islam Indonesia. Secara rinci, terjemahan dari bunyi pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pasal 75 ayat (3) :
“Oleh hakim Indonesia hendaklah diberlakukan UU Agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia”.
2) Pasal 75 ayat (4)
“UU agama, instelling dan kebiasaan itu juga dipakai untuk mereka oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi, bila terjadi pemeriksaan banding”.
3) Pasal 78 (2)
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut UU agama (godsdienstige weeten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka.
Kedua pasal itu menjadi dasar pengakuan berdirinya Peradilan Agama dalam sistem ketatanegaraan Hindia Belanda.
Pasal 109 merupakan penjelasan lebih lanjut dari kedua pasal di atas. Pasal ini berbunyi sebagai berkut :
“Ketentuan termaksud dalam pasal 75 dan 78 itu berlaku pula bagi mereka yang dipersamakan dengan “inlander”, yaitu orang Arab, orang Moor, orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama.
Tokoh yang mendukung kebijakan ini adalah Salomon Keyzer, LWC. Van den Berg dan C. Frederik Winter., LWC. Van den Berg mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh Hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam, walaupun dalam pelaksanaan terdapat penyimpangan-penyimpangan. Pendapat atau teori ini disebut Receptio in Complexu. Sejalan dengan ini pada tahun 1882 dengan Stbl. 1882 No. 152 ditegaskan pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Di dalam pasal 1 Stbl. 1882 NO. 152 disebutkan bahwa di tempat-tempat di mana telah dibentuk (Pengadilan) Landraad maka disana dibentuk sebuath Pengadilan Agama. Di dalam Stbl. 1882 No. 152 tidak disebut mengenai kewenangan Pengadilan Agama. Di dalam pasal 7 hanya disinggung potongan kalimat yang berbunyi “keputusan raad agama yang melampaui batas wewenang” yang memberikan petunjuk ada peraturan sebelumnya yang mengatur mengenai ordonansi tersebut adalah Stbl. 1820 No. 22 kemudian Stbl. 1835 No. 58. Dalam Pasal 13 Stbl 1820 No. 22 jo. Stbl. 1835 No. 85, disebutkan “Jika diantara orang Jawa dengan orang Madura terjadi perselisihan (sengketa) mengenai perkawinan atau pembagian harga pusaka dan sengketa-sengketa sejenis dengan itu harus diputus menurut hukum syara’ (agama) Islam, maka yang menjatuhkan keputusan dalam hal itu hendaknya betul-betul ahli agama Islam, akan tetapi segala persengkataan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu harus dibawa ke muka pengadilan biasa, pengadilan itulah yang yang akan menyelesaikan perkara itu dengan mengingat keputusan ahli agama dan supaya keputusan itu dijalankan.
D. MASA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA II
Theorie Receptie : Masa itu terjadi perubahan-perubahan mengenai pasal-pasal RR tersebut. Antara lain atas anjuran C. van Vollenhoven, dan Snouck Hurgrounje.
Dengan Stbl 1907 No. 204. Kata diperlakukan diganti dengan “diikuti”. Dengan Stbl 1919 No. 286 kata diikuti diubah menjadi memerhatikan. Dengan Stbl 1919 No. 286 atau Stbl 1919 No. 621, muncul ayat baru sebagai tambahan ayat 75 RR yaitu ayat (6) :”Bagi penduduk pribumi dan Timur Asing berlaku hukum perdata dan hukum dagang (berlaku pada tanggal 1 Januari 1920).
Pada tahun 1925 regering reglement diubah namanya menjadi : IS (Wet Op de Staats Inrichting Van Nederlands Indie). Dengan Stbl 1925 tersebut. Dan dalam kaitannya dengan lembaga Peradilan Agama, pada tahun 1929 baru diadakan perubahan mengenai isi dari IS, yaitu dengan Stbl. Tahun 1929 No. 221 Pemerintah Hindia Belanda mengubah pasal 134 ayat (2) IS, sehingga dinyatakan bahwa :
“dalam hal terjadi perkara peerdata antara sesame orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.
Pernyataan pasal itu dapat diartikan bahwa hukum Islam tidak berlaku lagi di Indonesia kecuali untuk hal-hal yang dikehendaki oleh hukum adat. Pasal 134 ayat (2) IS 1925 itulah yang menjadi sumber formal dan pangkal tolak dari teori “receptive”.
Sejak saat itu, bermulalah suatu masa dimana seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar dan biasa saja bahwa hukum Islam itu bukan hukum di Indonesia dan telah tertanam dalam pikiran orang khususnya kalangan sarjana hukum bahwa yang berlaku adalah hukum adat. Dan hanyalah kalau hukum Islam itu menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.
Keadaan yang demikian telah menyingkirkan kenyataan hukum yang ada di mana cara pengaturan semacam itu adalah seperti yang dilakukan oleh iblis dalam mengubah kenyataan yang benad dan nyata menjadi sesuatu yang kabur dan tidak benar. Inilah salah satu unsure yang menjadi patokan mengapa Prof. Hazairin menamakan teori “receptive” itu sebagai teori Iblis.
Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, pemerintah penjajah mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 yang mengurangi wewenang Pengadilan Agama memeriksa perkara waris sehingga wewenangnya hanya mengenai nikah, talak, dan rujuk saja. Dalam pasal 3 ayat 1 disebutkan bahwa, bila sebuah keputusan hakim agama tidak diterima untuk dijalankan (enggan dilaksanakan), maka dimintakan executor verklaring ke Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).
Dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 diatur pembentukan Pengadilan Agama (disebut Kerapatan Kadi) dan Pengadilan Tinggi mengecualikan daerah Pulau Laut dan Hulu Sungai. Sedang mengenai wilayah kekuasaan mengadili, dan ketentuan lain tidak berbeda dengan ketentuan untuk lingkungan Peradilan Agama di daerah Jawa dan Madura.
Kemudian dengan Stbl. 1937 No. 610 dibentuk lembaga peradilan banding (appel) yaitu Mahkamah Islam Tinggi dalam lingkungan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Dalam pasal 7 d disebutkan susunan pengadilan yang terdiri dari seorang ketua, dua orang anggota dan seorang panitera.
E. MASA (PERIODE) PENJAJAHAN JEPANG
Pada masa pemerintahan Jepang ini lembaga Pengadilan Agama yang sudah ada pada masa penjajahan Belanda, tetap berdiri dan dibiarkan dalam bentuknya semula. Perubahan lembaga ini hanyalah dengan memberikan atau mengubah nama saja, yaitu Sooryoo Hooin untuk Pengadilan Agama dan Kaikyoo Kootoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tinggi (Pengadilan Tinggi Agama).
Dalam sidang Dewan Pertimbangan (Sanyo Kaigi) dipersoalkan apakah urusan agama Islam dilaksanakan oleh pemerintah, dan apakah Pengadilan Agama berdiri terpisah dari Pengadilan Negeri atau menajdi bagian dari Pengadilan Negeri, dengan mengangkat penasihat urusan agama. H. Zaini A. Noeh dan H. A. Basit Adnan dalam buku Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia menuliskan, bahwa Jepang berpendirian untuk mengadakan keseragaman (unifikasi) dalam beradilan, yaitu satu pengadilan untuk semua golongan penduduk kecuali untuk bangsa Jepang.
Meninjau secara ringkas tentang keadaan peradilan di seluruh Indonesia pada zaman Jepang adalah sukar sekali, oleh karena daerah kekuasaan yang berbeda, yakni Sumatera adalah termasuk daerah Angkatan Darat yang berpusat di Shonanto (Singapura), Jawa Madura dan Kalimantan adalah daerah Angkatan Darat yang berpusat di Jakarta. Sedang Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara adalah daerah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar.
F. MASA SETELAH KEMERDEKAAN INDONESIA
1. Tahun 1945 – 1957
Di dalam pasal 24 ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat 2 dari Pasal ini menyebutkan susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Kekuasaan kehakiman itu dilakukan dengan suatu kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh dan turut campurnya kekuasaan pemerintahan (Penjelasan Pasal 24 ayat 2 UUD 1945). Bagi peradilan agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang dimaksud oleh pengertian badan kehakiman dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 45 itu belum pernah diatur dengan suatu undang-undang tersendiri.
Pada tahun 1984 pernah dikeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun 1984 tentang susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman yang bermaksud menyusun peradilan secara integral akan tetapi undang-undang ini tidak pernah dinyatakan berlaku. Dalam undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 tentang Tindakan sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan susunan, Kekuasaan dan acara Pengadilan Pengadilan Sipil, Keberadaan Pengadilan Agama ditetapkan merupakan bagian dari Peradilan Swapraja terutama bagi daerah selain Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 ketentuan perundang-undangan yang mengatur lembaga Peradilan Agama dinyatakan masih berlaku sepanjang belum diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa, Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1), Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing (Pasal 2) : ditegaskan bahwa berlakunya hukum Islam di Indonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang dibuatkan untuk itu. Pandangan ini disebut receptio a contrario.
Pada tahun 1957 dikeluarkan PP No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah di daerah luar Jawa dan Madura, kecuali daerah sekitar Banjarmasin. Untuk melaksanakan PP tersebut, diatur pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah terutama di daerah Sumatera. Sebelum ini pada tanggal 3 Januari 1964 dibentuk Departemen/Kementerian Agama kemudan dengan penetapan Pemerintah No.5/SD/tanggal 25 Maret 1946 Mahkamah Islam Tinggi (termasuk Pengadilan Agama) yang semula berada dalam lingkungan Departemen Kehakiman, diserahkan pada Departemen Agama.
Pada tahun 1946 dikeluarkan Undang-undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk yang berlaku untuk seluruh Indonesia dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954. Namun, peraturan tentang pelaksanaan tugas Peradilan Agama, seperti yang dimaksud dalam undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 belum ada sama sekali.
Setelah berlakunya PP No. 45 tahun 1957, maka struktur organisasi Peradilan Agama adalah sebagai berikut :
Peraturan | Jawa dan Madura Stbl. 1882 No.152 jo. Stbl 1937 No. 116 | Kalimantan Selatan dan Timur Stbl. 1937 No. 638 dan No. 639 | Luar Jawa dan Maura PP No. 45 Tahun 1957 | ||||||
Struktur | Mahkamah Islam Tinggi (Provinsi) Priesterraad Pengadilan Agama | Kerapatan Kadi Besar Kerapatan Kecil | Mah. Syar’iyah Provinsi Mahkamah Syar’iyah |
Dalam pasal 4 ayat 1 PP No. 45 tahun 1957 disebutkan wewenang Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah adalah, memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami isteri yang beragama Islam, dan segala perkara yang menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan Nikah, thalaq, ruju’, fasach, nafaqah, mas kawin (mahar), tempat kediaman (maskan) mut’ah dan sebagainya, hadhanah, perkara waris mal waris, wakaf, hibah, sedekah, baitulmal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan perkara perceraian dan mengesahkan bahwa syrat taklik sudah berlaku.
Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa, Pengadilan Agama / Mahkamah Syari’ah tidak berhak memeriksa perkara-perkara yang tersebut dalam ayat 1, kalau untuk perkara-perkara itu berlaku lain daripada hukum agama Islam. Uraian lebih lanjut mengenai pendirian Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah diluar Jawa dan Madura dapat dibaca dan dipelajari H.M. Djamil Latif, dalam buku Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Bab I dan II) serta H. Zaini Ahmad Noeh, Sejarah Singkat Pengadilan Agama Islam di Indonesia (Bab I dan II).
2. Tahun 1957-1974
Sebelum lahirnya Undang-undang No. 14 tahun 1970 terdapat rechtsancuum mengenai wewenang tingkat kasasi di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu, menteri Agama RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 10 tahun 1963 yang member wewenang dan kewajiban kepada Jawatan Peradilan Agama (sekarang Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama) untuk melaksanakan tugas Peradilan Agama ditingkat kasasi. Setelah berlaku Undng-undang No. 14 tahun 1970, Surat Keputusan Menteri Agama tersebut dicabut dengan SK Menteri Agama No. 28 tahun 1972.
Dalam Undang-undang no. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan :
a. Prinsip Peradilan dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”(Pasal 4 ayat 1) proses peradilan sederahana, cepat dan biaya ringan (pasal 4 ayat 2)
b. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :
1) Peradilan Umum
2) Peradilan Agama
3) Peradilan Militer
4) Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 10 ayat 1)
c. Kasasi berada di tangan Mahkamah Agung untuk semua lingkungan Peradilan Negara, (pasal 10 ayat 2, 3 dan 4)
d. Badan-badan peradilan (diluar lingkungan Departemen Kehakiman secara organisatoris, administrative dan finansiil tetap berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen (pasal 1 ayat 1) dan
e. Susunan kekuasaan dan acara dari badan-badan peradilan tersebut diatur dalam undang-undang tersendiri (pasal 12)
Pada masa itu pemerinah sedang menyusun suatu Undang-undang Perkawinan, yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing. Pasal 2 ayat 2 Perkawinan harus dicatat dalam undang-undang ini tercakup ketentuan Hukum Perkawinan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam penjelasan Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 disebutkan enam (6) alasan perceraian, dalam hal ini dicantumkan kembali dalam pasal 19 PP. No. 9 tahun 1975 sebagai Peraturan Pelaksanaan Undang-undang ini.
Dalam pasal 63 ayat 1 ditegaskan bahwa, yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini ialah :
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b. Pengadilan umum bagi lainnya.
Sedangkan pada pasal 63 ayat 2 disebutkan bahwa, setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan Oleh Pengadilan Negeri. Walaupun keharusan pengukuhan itu bersifat administrative, namun hal ini menunjukkan bahwa kedudukan Pengadilan Agama belum setara dengan Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini memperlihatkan masih adanya pengaruh teori receptive.
Setelah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 dan setalah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, terdapat 16 hal yang merupakan wewenang Pengadilan Agama. Selanjutnya dikeluarkan peraturan Menteri Agama (PMA) No. 3 tahun 1975 tentang kewajiban Pegawai pencatat nikah.
3. Tahun 1974-1989
Dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 yang menyebutkan bahwa, perkawinan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dan pasal 63 yang menunjuk Lembaga Peradilan Agama sebagai penyelesai sengketa perkawinan di antara orang Islam pada satu sisi menunjukkan kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh. Namun pada periode ini masih terdapat kekurangan, yaitu masih diperlukan adanya pengukuhan putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri.
Dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980, nama Pengadilan Agama yang berbeda-beda untuk seluruh Indonesia, di seragamkan dengan sebutan atau istilah “Pengadilan Agama” untuk Pengadilan Tingkat Pertama, dan “Pengadilan Tinggi Agama” untuk Pengadilan Tingkat Banding di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1985 dikeluarkan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 1 ditetapkan bahwa, Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi Negara sebagaimana dimaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia No. III MPR/1978. Dalam pasal 2 ditetapkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
4. Tahun 1989-1999
Setelah berlakunya UU No. 7 tahun 1989, dikeluarkan tiga peraturan, yaitu :
a. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990, tanggal 2 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai pasal 84 ayat 4 UU No. 7 1989.
b. Surat Edaran Menteri Agama nomor 2 tahun 1990 tentang petunjuk Pelaksanaan UU no. 7 tahun 1989 dan
c. Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
5. Peradilan Agama dalam Sistem Peradilan Menurut UU No. 14 Tahun 1970 jo. UU No. 35 Tahun 1999 Serta UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pada uraian dimuka telah dipaparkan bahwa menurut Pasal 10 UU No. 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman ada empat lingkungan kekuasaan Kehakiman, yaitu : (1) Peradilan Umum, (2) Peradilan Agama, (3) Peradilan Militer, dan (4) Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan pasal 11 UU No. 14 tahun 1970, empat kekuasaan kehakiman tersebut di atas secara administratif, organisatoris, dan finansial berada di bawah lingkungan departemen masing-masing. Dengan demikian Departemen Kehakiman membawahi Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara, Departemen Agama membawahi Peradilan Agama dan Departemen Pertahanan dan Keamanan (dahulu) membawahi Peradilan Militer.
Dengan berlakunya UU No, 35 tahun 1990 dalam Pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa, “Badan-badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) secara organisatoris, dan finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung”. Maka dalam waktu lima tahun akan berlangsung penyatuan lingkungan peradilan itu, yaitu secara administratif, organisatoris, dan finansial berada di bawah Mahkamah Agung. Latar belakang pengaturan dalam “satu atap” tersebut antara lain untuk menunjang kemandirian hakim. Menurut Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH., sesungguhnya kemandirian hakim tidak semata-mata tergantung apda penyatuan Peradilan Agama ke dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman banyak ditentukan kemandiriannya dalam mengambil keputusan putusan, artinya suatu putusan hakim tidak boleh dicampuri oleh apa pun dan siapa pun, hal ini sangat penting bagi prospek peradilan di masa datang. Selanjutnya khusus untuk Peradilan Agama tidak ada ketentuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan yang merupakan batas waktu sampai kapan proses penyatuan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung harus sudah dilaksanakan.
Selama belum ada pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung maka Peradilan Agama, masih berada di bawah Departemen Agama, hal ini berdasarkan penjelasan UU No. 35 Tahun 1999 Pasal 1 angka 2 ayat (2) yang mengatur : “Selama belum dilakukan pengalihan maka organisasi administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama.”
Meskipun ada perubahan terhadap pasal 11 UU No. 14 Tahun 1970, yang menyatakan bahwa secara organisatoris, administrative dan finansial Peradilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung, namun baik sebelum atau sesudah lahirnya UU No. 35 Tahun 1999, Peradilan Agama tidak mengalami perubahan seperti yang ditentukan terhadap lingkungan peradilan yang lain yaitu dalam waktu lima tahun secara bertahap sudah harus berada di di bawah Mahkamah Agung. Isi (bunyi) Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999 adalah sebagai berikut ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11
(1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1), secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekuasaan lingkungan peradilan masing-masing.
Diantara pasal 11 dan pasal 12 disisipkan (satu) pasal, yakni pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap paling lama lima tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku.
(2) Pengalihan organisasi, administrasi, finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahap sebagimana dimaksudkan dalam ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Menurut penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2) b, bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah, wakaf, sedekah.
Menurut penjelasan Pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) UU No. 35 Tahun 1999, selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi, dan fiinansial bagi Peradilan Agama masih tetap beradi di bawah kekuasaan Departemen Agama.
Kini UU No. 35 Tahun 1999 telah diubah menjadi UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman. Setelah berlakunya Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, terjadi beberapa perubahan antara lain dalam Pasal 10 ayat 1 dinyatakan bahwa : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuat Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuat Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan tata Usaha Negara (PTUN).
Pasal 11 ayat (1) Mahkamah Agung merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan tersebut diatas; ayat (2) Mahkamah Agung mempunyai kewenangan : a. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. b. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. c. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Dalam pasal 13 ayat 1 ditentukan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Selanjutnya khusus bagi Peradilan Agama, pelaksanaan pemindahan (pelepasan) lembaga Peradilan Agama ke Mahkamah Agung dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden No. 21 Tahun 2004 tanggal 23 Maret 2004. Pasal 2 ayat 2 Kep. Pres. Ini menetapkan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari’ah Provinsi, dan Pengadilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung.
Saat ini pengaturan mengenai struktur organisasi, administrasi dan finansial lembaga Peradilan Agama ke “satu atap” yaitu di bawah Mahkamah Agung telah semakin kokoh dengan keluarnya UU No. 3 tahun 2006 yang mengaturnya lebih lanjut pada Pasal I angka 4 mengenai perubahan bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 yang berbunyi “Pembinaan teknis peradilan, organisasi, dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Sedangkan pada pasal 1 angka 6 juga terdapat penyesuaian terhadap bunyi Pasal 12 ayat (1) UU Peradilan Agama tersebut sehingga berbunyi : “ Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung.”
Sumber: Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia by Hj. Sulaikin Lubis, S.H.,M.H., dkk